Arus Baru Ekonomi Syariah di Indonesia

Prof.Dr. KH. Ma’ruf Amin

Banyak pihak mengatakan bahwa dinamika tumbuh kembang ekonomi syariah di Indonesia erat terkait dengan fatwa DSN-MUI. Ia dinilai mempunyai efek berantai (multiplayer effect) dalam membanagun sector ekonomi syariah di Indonesia. Misalnya ketika lokakarya MUI pada tanggal 22-25 Maret 1990 mengamanatkan membentuk kelompok kerja guna mendirikan bank Islam di Indonesia ; kelompok kerja tersebut disebut tim perbankan MUI. Pada tanggal 1 November 1991, tim ini menandatangani akta pendirian bank yang menggunakan sistem tanpa bunga pertama. Usaha tersebut kemudian mendapat respon positif dari pihak eksekutif dan legislative dengan terbentuknya undang-undang nomer 7 tahun 19992 tentang perbankan yang memuat aturan tentang telaah dimungkinkannya kegiatan usaha perbankan dengan menggunakan prinsip syariah yang disebut dengan istilah bagi hasil (pasal 6 huruf m, dan pasal 13 huruf c ).

Pada tahun yang sama pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah republic Indonesia nomer 7 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil ( lembaran Negara 1992/ 119, dan penjelasannya dimuat dalam tambahan lembaga Negara nomer 3505). Dalam PP nomer 72 tahun 1992 pasal 1 tersebut, ditetapkan bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki dewan pengawas syariah (ayat 1) yang dibentuk atas dasar konsultasi dengan ulama (ayat 2), dan ulama yang dimaksud adalah MUI (penjelasan pasal 5 ayat 2).

Proses pembentukan regulasi yang memberikan kepastian hukum atas penerapaan konsep mu’amalah syariyyah terus berjalan. Enam tahun setelahnya terbit UU No.10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang secara jelas di dalamnya mengakomodasi dual banking sistem di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dan perbankan syariah.

Hubungan baik yang terjalin antara bank Indonesia dan DSN-MUI telah menghasilkan banyak peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengadopsi dan mengharmonisasi fatwa-fatwa DSN-MUI. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyerapan fatwa ke dalam peraturan resmi telah berlangsung dengan baik di sector perbankan.

Hal seperti itu terjadi bukan hanya di sector perbankan saja, namun juga terjadi di sector lainnya, seperti sector asuransi, pembiayaan, dan pasar modal. Di sector asuransi mentri keuangan mengeluarkan peraturan mentri keuangan (PMK) No. 18/PMK.10/2010 tentang penerapaan prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah.

Sedangkan di sector lembaga pembiayaan juga telah dilakukan 2 (dua) peraturan ketua Bapepam dan LK, yaitu No. PER-03/BL/2007 tentang kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan N0. PER-04/BL/2007 tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan untuk sector asuransi syariah dan pembiayaan syariah tentu saja berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam fatwa-fatwa DSN-MUI yang terkait dengan sector asuransi dan pembiyaan.

Dalam sector pasar modal, fatwa-fatwa DSN-MUI telah terakomodasi dengan baik melaui 3 (tiga) peraturan Bapepam dan LK, yaitu peraturan No.1X.A.13 tentang penerbitan efek syariah dan peraturan 1X.A.14 tentang akad-akad yang digunakan dalam penerbitan pasar modal yang keduanya dikeluarkan pada tanggal 23 November 2006 serta peraturan peraturan No.11.K.1 tentang criteria dan penerbitan daftar efek syariah yang dikeluarkan pada tanggal 31 Agustus 2007, ketika peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam dan LK tersebut secara jelas mengadopsi dua fatwa DSN-MUI, yaitu fatwa DSN-MUI No. 20 tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk Reksa Dana Syariah dan fatwa DSN-MUI No. 40 tentang pasar modal dan pedoman umum penerapaan prinsip syariah di pasar modal.

Konsistensi dan perjuangan keras yang dilakukan oleh para ulama agar peraturan perundangan terkait dengan ekonomi syariah menyerap dan mengakomodasi fatwa semakin dikukuhkan melalui undang-undang nomer 19 tahun 2008 tentang SBSN dan UU Nomer 21 tahun 2008 tentang perbnkan Syariah.

Pasal 25 tentang SBSN menyatakan :

Dalam rangka penerbitan SBSN, Mentri meminta fatwa atau pernyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsip-prinsip syariah dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah” .

Pasal tersebut kemudian dijelaskan :

“ Yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah majelis ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk pemerintah”.

Pasal 26 UU tentang perbankan syariah menyatakan : ( 1 ) kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 20, dan pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah. ( 2 ) prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.”

Efek berantai setelah dikeluarkannya fatwa MUI tahun 2003 tentang keharaman bunga bank juga bisa dilihat dari semakin baiknya akomodasi pemerintah terhadap perkembangan lembaga keuangan syariah. Hal ini bisa dilihat dari ditetapkannya bagian khusus di lembaga regulator yang menangani masalah ekonomi syariah.

Baik di bank Indonesia melalui direktorat perbankan syariah yang khusus menangani perbankan syariah, maupun di Departemen keuangan melalui Direktorat pembiayaan syariah, Bapepem-LK,  biro asuransi syariah, Bursa efek Indonesia  (BEI), yang kesemuanya saat ini disatu atapkan di dalam Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ). Setelah terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatukan semua sector keuangan di bawahnya, peraturan-perauran yang awalnya merupakan peraturan lembaga yang terpisah, seperti BI, Menkeu, dan Bapepam LK dalam proses diubah menjadi peraturan OJK dengan tanpa mengubah substansinya. Dalam hal belum adanya peraturan OJK yang mengganti peraturan sebelumnya, maka peraturan tersebut masih tetap berlaku dan mengikat bagi industry keuangan seperti semula.

Fatwa MUI tentang haramnya Bunga Bank juga mempunyai pengaruh kuat terhadap semakin berkembangnya industry keuangan dan bisnis syariah. Hal itu bisa dibuktikan melalui fakta statistic yang ada. Pada rentang tahun 1990 sampai dengan 1998 hanya ada satu bank syariah. Pada rentang tahun 1998 sampai 2002 lahir lima bank syariah. Sedangkan setelah tahun 2003 di mana fatwa MUI tentang haramnya bunga bank telah lahir semakin banyak muncul bank syariah, baik yang berupa unit usaha syariah ataupun Bank umum Syariah. Hal yang serupa juga terjadi di sector non Bank. Setelah keluarnya fatwa MUI tentang haramnya bunga bank semakin banyak lahir asuransi syariah, multifinance syariah, pasar modal syariah, dan lembaga bisnis syariah lainnya.

Hal ini semakin menunjukan ada hubungan yang kuat sekali antara fatwa yang dikeluarkan MUI dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan di negri ini dan dinamika tumbuh kembang sector ekonomi syariah di Indonesia. Disadari atau tidak, Indonesia merupakan pasar potensi bagi tumbuh kembangya ekonomi syariah. Kondisi perekonomian Indonesia juga dinilai bagus. Gross Domestic Product (GDP) Indonesia diproyeksikan masuk lima besar dunia. Dan penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta, sekitar 90 persenya memeluk agama Islam. Kelas menengah Muslim mengalami peningkatan. Hal tersebut menjadi pasar potensial bagi ekonomi syariah, khususnya lembaga keuangan dan bisnis syariah.

Upaya untuk terus menggelindingkan dan memperbesar sector ekonomi syariah di Indonesia tidaklah mudah dan tidak murah. Upaya perintisan dan pemantapan fondasi sudah dilakukan dengan baik. Sector ekonomi syariah sudah memiliki pijakan kuat, baik dari sisi regulasi, fatwa terkait produk , jasa dan akad, insfraktuktur lembaga keuangan dan bisnis syariah, sumber daya insani, dan masyarakat madani yang mengadvokasi akselerasi pertumbuhan ekonomi syariah.

Kendala-kendala yang selama ini menjadi penghambat tumbuh kembangya ekonomi syariah berangsur-angsur sudah mulai dikikis. Misalnya kendala permodalan, masyarkat madani terus mendorong pemerintah untuk masuk lebih jauh ke sector ekonomi syariah, misalnya dengan menambah dan memperbesar porsi BUMN untuk diubah dengan sistem syariah. Sukuk yang dikeluarkan oleh Negara dapat menjadi acuan sukses story bahwa masyarakat akan semakin percaya diri kalau Negara mau menjamin dan serius menggarap sector ekonomi syariah. Sukuk Negara di Indonesia saat ini menjadi yang terbesar di dunia. Hal ini sekaligus menjadi pertanda bahwa jika pemerintah menunjukan kesungguhan dan keberpihakannya maka akan dapat mengikis kendala kepercayaan yang selama ini masih menjadi hambatan.

Kendala lainya berupa belum kompetitifnya lembaga keuangan dan bisnis syariah dalam memberikan pelayanan kepada nasabah dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional. Kendala ini juga mulai terurai. Meskipun kemudahan yang diberikan lembaga keuangan konvensional masih belum tertandingi, namun langkah sudah mulai mengikis kesenjangan tersebut. Fasilitas dan kemudahan yang diberikan LKS dan LBS agar lebih kompetitif dalam memberikan pelayanan kepada nasabah saat ini sudah mulai tertata dengan baik.

Kendala lainnya terkait sumber daya insane yang mumpuni, yang bukan hanya terampil dan cakap terhadap teknis ekonomi tapi juga menguasai dan memahami prinsip-prinsip normative ekonomi syariah, juga sudah mulai menampakan hasil yang mengembirakan. Peran perguruan tinggi dan universitas sangat penting untuk memenuhi kekurangan SDM dimaksud.

Kendala terkait dengan peraturan perundangan yang selama ini menjadi batu sandungan yang selama ini menjadi batu sandungan Alhamdulillah semakin bisa diminimalisir seiring dengan mulai tumbuhnya kesungguhan dari pemerintah untuk memberikan fasilitas yang sama bagi tumbuh kembanya ekonomi syariah. Pemerintah terus didorong untuk semakin menampakan keberpihakannya pada sector ekonomi syariah sehingga dapat menciptakan iklim berinvestasi yang menguntungkan dalam sector keuangan syariah.

Pemerintah telah mulai menunjukan kebijakan yang jelas terkait dengan pengembangan ekonomi syariah. Pemerintah telah mulai mencanangkan perlunya percepatan pertumbuhan dan perkembangan   dalam sector ini. Pemerintah juga intensif membenahi beberapa peraturan perundangan yang dinilai menjadi factor penghambat kebijakan percepatan tersebut. Terakhir dengan hadirnya keuangan syariah (KNKS) diharapakan dapat menjadi era baru dalam perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. KNKS yang langsung diketuai oleh presiden diharapkan dapat mengurai hambatan kebijakan dalam mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia.

Presiden juga telah mencanangkan Jakarta sebagai pusat keuangan syariah dunia. Tentu saja hal-hal terkait dengan pencapaian pencanangan tersebut, baik terkait dengan peraturan ataupun kebijakan lainnya, saat ini sedang dilakukan pembenahan-pembenahan. Bukan hanya sector keuangan syariah saja yang dilakukan pembenahan, tapi juga sector bisnis dan wisata syariah.

Belum lama pemerintah bersama MUI juga telah mencanangkan era baru ekonomi di Indonesia, di mana sebelumnya lebih banyak menggunakan pendekatan top down, dari atas ke bawah, maka di waktu mendatang akan diperbesar pendekatan dari bawah ke atas (bottom up). Ke depan ekonomi nasional harus ditopang oleh ekonomi umat, bukan seperti sebelumnya yang hanya ditopang oleh segelintir konglomerat.

Apabila komitmen pemerintah ini dapat berjalan dengan mulus, maka dapat dipastikan Indonesia dapat menjadi pasar ekonomi syariah yang betul-betul mempunyai prospek cerah, karena selain Indonesia menjadi potensial market karena jumalah penduduknya yang mayoritas muslim, juga karena ekonomi syariah memberikan manfaat ekonomi (economic benefit ) bagi para pelakunya.

 

** Pidato ilmiah pada penganuggrahan Guru Besar dalam bidang Hukum Ekonomi Syariah dengan judul “ Solusi Hukum Islam (Makharij Fiqhiyyah) sebagai pendorong Arus Brau Ekonomi Syariah Di Indonesia’’ di Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang Jatim.