Fatwa Sebagai Sarana Pembaharuan Hukum Ekonomi Syariah

Prof. Dr.K.H.Mar’ruf Amin

Fatwa muncul selain didasarkan atas nushus syariah juga didasarkan atas refleksi dari kondisi sosial yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh kondisi sosial yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh kondisi sosial terhadap lahirnya sebuah fatwa, sehingga dapat dikatakan bahwa relevansi sebuah fatwa sangat bergantung  pada kondisi sosial yang melingkupinya. Prinsip ini sangat relevan untuk dijadikan alat bantu memahami lahirnya fatwa kontemporer yang mungkin berbeda dari apa yang termaktub dalam buku fiqih.  Tidak bisa dipungkiri banyak terjadi kerancua-terutama di kalangan masyarakat umum dalam memahami fatwa dan fiqih.  Mungkin karena adanya kemiripan antara fiqih dan fatwa, sehingga keduanya dipahami sebagai sama dan sebangun.  Belum lagi jika melihat keluaran (output) diantara keduanya hampir sama, yakni berubah huku. Menyamakan fatwa dengan fiqih hanya karena output keduanya sama merupakan kesalahan yang sangat mendasar. Walaupun keduanya mengahsilkan hal yang sama, yakni hukum, namun pada dasarnya di antara keduanya mempunyai perbedaan-perbedaan.

Perbedaan antara fiqih dan fatwa bisa dipahami dari definisi keduanya. Fiqih didefinisikan sabagai ilmu al-ilmu bil-ahkam al-syariyyah al-‘amaliyah al-muktasab min adilatiha al-tafshiliyah (mengetahui hukum syariah amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci). Sedangkan fatwa dapat didefinisikan sebagai tabyin al-hukum as-syar’iyy liman saala ‘anhu (menjelaskan hukum syar’I kepada orang yang menanyakannya). Definisi ini memberikan gambaran bahwa fiqih merupakan hasil dari proses penyimpulan hukum syar’I dari dalil-dalil rinci (tafshili), sedangkan fatwa merupakan hasil dari proses penyimpulan hukum syar’I dari permasalahan yang ditanyakan. Fiqih bersandar pada proses penggalian terhadap dalil-dalil tafshili. Dengan begitu, perbedaan mendasar antara fiqih dan fatwa adalah pada identifikasi permasalahan yang terjadi; fiqih tidak memerlukanya, sedangkan fatwa sangat memerlukanya.

Kesimpulan tersebut mempertegas proposisi di atas, bahwa fatwa lahir selain didasarkan atas nushus syari’yyah, juga didasarkan atas refleksi dari kondisi sosial yang melingkupinya. Sebagaimana di fahami bahwa proses identifikasi permasalahan yang ditanyakan oleh mustafti (orang yang meminta fatwa) merupakan refleksi terhadap kondisi sosial dan nash mengahsilkan kesimpulan hukum yang mungkin beda dari kesimpulan hukum yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih terdahulu.

Proposi di atas sangat relevan untuk dijadikan alat (tool) dalam memahami fatwa di bidang ekonomi syariah, khususnya fatwa-fatwa dewan syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang boleh jadi dalam kasus tertentu tidak sama dengan kesimpulan hukum yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih terdahulu. Hal ini terjadi karena ditemukannya hal-hal baru yang menjadi ‘illah hukum yang mungkin belum terjadi di waktu yang lampau. Perkembangan permasalahan di bidang ekonomi saat ini sangat besar, sehingga ada yang mengatakan bahwa bidang ekonomi saat ini sangat besar, sehingga ada yang mengatakan bahwa di bidang ekonomi syariah kontemporer merupakan lahan ijtihad baru. Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI sebagai sebuah hasil ijtihad kolektif di bidang ekonomi syariah merupakan jawaban atas permasalahan atau perkembangan aktivitas ekonomi yang muncul di Indonesia. Bahwa fatwa-fatwa tersebut ada yang tidak sama dengan kesimpulan hukum yang termaktub dalam kitab-kitab terdahulu adalah merupakan suatu hal yang wajar, karena permasalahan yang muncul saat ini berbeda dengan permasalahan yang terjadi ketika itu. Namun demikian, antara keduanya mempunyai ruh yang sama, yakni mewujudkan tujuan utama syariat (tahqiq maqasid as-syariah).

Karakteristik fatwa yang merupakan respons terhadap suatu masalah yang berkembang merupakan pintu masuk yang sangat realistis bagi pembaruan hukum islam. Fatwa DSN-MUI dalam tataran tertentu secara sadar dimaksudkan untuk melakukan pembaruan tersebut. Memang pembaruan hukum ekonomi Islam yang di lakukan oleh DSN-MUI tidak dalam arti menciptakan hukum baru yang sama sekali tidak terkait dengan pendapat ulama terdahulu. Pembaruan yang dilakukan oleh DSN-MUI melalui fatwanya lebih pada menguji validitas ‘illah terhadap pendapat ulama terdahulu (masalik al-illah), jika illahnya masih dipandang relevan dengan kondisi kekinian maka pendapat ulama tersebut akan dipakai, sedangkan jika ‘illahnya dianggap sudah tidak cocok lagi deengan kondisi kekinian maka pendapat tersebut ditinggalkan, tetapi manhaj istinbatul hukum-nya tetap dipakai oleh DSN-MUI. Itulah yang menyebabkan ada beberapa fatwa DSN-MUI dianggap tidak sejalan dengan pendapat lahiriah ulama terdahulu dalam kitab fiqih mu’tabarah.

Fatwa tentang ekonomi syariah yang ditetapkan oleh DSN-MUI selain dibangun diatas manhaj tertentu juga tidak terlepas dari landasan umum hukum ekonomi syariah. Menurut hemat saya, setidaknya ada tujuh prinsip (yang terangkum dalam singkatan Marga KAMI) yang harus dijadikan landasan dalam penetapan fatwa ekonomi syariah. Pertama adalah maslahah., artinya aktifitas ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat (jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid). Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa segala bentuk mu’amalat yang dapat merusak atau mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan., seperti perjudian, penjualan narkotik, secara tidak sah, prosistusi dan sebagainya.

Kedua, adalah ridha, artinya aktifitas perekonomian syariah harus dilakukan atas dasar sukarela (taradhi), dengan tanpa mengandung unsur paksaan (ikrah). Kaidah saling sukarela antara pihak yang melakukan transaksi ini merupakan prinsip yang fundamental dalam setiap aktifitas perekonomian syariah, sehingga kedua belah pihak dapat terhindar dari aktifitas ekonomi yang di dalamnya terdapat unsur tekana, paksaan, penipuan, atau ketidakjujuran. Namun demikian, semua aktifitas perekonomian yang didasarkan atas prinsip saling rela itu tidak secara otomatis dianggap sah secara syar’i, karena pada dasarnya saling rela merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab dibolehkannya sesuatu yang dilarang (ar-ridha ruknun li al-aqdi wa laisa sababan li al-hilli). Selain itu, aktifitas ekonomi syariah juga harus didasarkan atas prinsip ketidak-terpaksaan (ghair ikrah). Prinsip ini merupakan prinsip dasar dalam fiqih mu’amalat dan merupakan prinsip dasar pula dalam hukum perjanjian (aqad). Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, baik dalam menentukan menentukan yang diperjanjikan (objek perjanjian). Maupun syarat-syaratnya, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian jika terjadi sengketa. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan syari’ah lainnya.

Ketika adalah gharar, aratinya praktik perekonomian syariah harus jauh dari tipu daya (‘adam al-gharar). Saya setuju dengan imam al-khitabi yang menyatakan bahwa setiap jual-beli yang tidak diketahui maksudnya dan tidak bisa diukur maka itu termasuk gharar. Misalnya menjual ikan yang masih dilautan atau menjual burung yang masih terbang di udara, atau menjual barang dalam bungkus yang tidak diketahui kondisinya. Setiap transaksi ekonomi yang mengandung penipuan (ghoror fahish) maka dianggap tidak sah. Keempat adalah khidmah, artinya aktifitas ekonomi syariah harus mampu mewujudkan pelayanan sosial (tahqiq al-hidmah al-ijtima’iyah). Aktifitas ekonomi syariah harus diorentasikan pada terciptanya pelayanan sosial yang bisa meringankan beban kaum yang lemah secara ekonomi. Prinsip ini harus menjadi tujuan dari setiap aktifitas ekonomi syariah, karena dalam ekonomi syariah selain diperbolehkan untuk menambah keuntungan dan kekayaan yang berlimpah, juga harus memperhatikan kondisi sosial di sekitarnya.

Kelima, adalah adil, artinya setiap aktifitas ekonomi harus mengarah pada terciptanya keadilan keseimbangan (al-adlu wa at-tawazun). Ekonomi syariah harus dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan menghindari unsure-unsur kedzaliman. Segala bentuk aktifitas ekonomi yang mengandung unsure penindasaan tidaklah dibenarkan. Setiap aktifitas ekonomi harus memperhatikan keseimbangan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi. Prinsip ini menekankan perlu adanya keseimbangan sikap dalam melakukan aktifitas perekonomian. Misalnya, setiap upaya untuk mendapatkan keuntungan tentu saja di situ ada resiko-resiko kerugian yang harus ditanggungnya. Jika keuntungan yang diharapkan lebih besar, di situ factor resiko kerugiannya juga lebih besar. Sebaliknya, setiap transaksi bisnis yang mempunyai resiko besar, biasanya juga menjanjikan keuntungan yang besar pula. Harus ada sikap proposional antara upaya meraih keuntungan dan kesiapan untuk mennanggung kerugian, sesuai kaidah al-ghunmu bil-ghurmi wal-ghurmu bil-ghunmi.

Keenam adala mubah, artinya segala bentuk aktifitas dalam ekonomi (mu’amalat) pada dasarnya hukumannya adalah boleh (mubah), kecuali jika ditentukan lain oleh suatu dalil. Prinsip (kaidah) ini merupakan landasan dalam menentukan hukum suatu transaksi ekonomi. Saya tidak sependapat dengan pihak yang beranggapan bahwa praktik ekonomi syariah banyak membawa kesulitan. Menurut hemat saya, kaidah ini menunjukan bahwa hukum Islam member kesempatan luas bagi perkrembangan bentuk macam mu’amalat baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat. Ketujuh adalah Istirbah, artinya aktifitas ekonomi syariah juga harus memeprhatikan prinsip profitable (al-istirbah) karena setiap kegiatan ekonomi tentunya mengharapkan adanya keuntungan. Jadi, tidak logis jika transaksi ekonomi tidak mengaharapkan keuntungan.