
Prof. Dr.KH.Ma’ruf Amin
Pembaharuan hukum islam selain didasarkan atas kaidah “ taghayyur al-fatwa bi taghayyur al-azimah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-niyyat wa al-awaid ”. (perubahan fatwa hukum karena perubahan zaman, tempat , kondisi, niyat dan adat kebiasaan). Kaidah ini menunjukan salah satu karakteristik hukum Islam (fiqih) yang fleksibel dan kontekstual, sejalan dengan dinamika dan perkembangan zaman, terutama dalam menjawab persoalan-persoalan barau dan yang terbarukan ( al-masail al-jadidah wa al-mustajadah). Kaidah ini juga menegasikan anggapan sebagian orang bahwa hukum Islam (fiqih) merupakan suatu yang sacral yang tidak mungkin berubah.
Fiqih dipahami sebagai kompilasi hukum Islam yang sepenuhnya baku dan diasumsikan sama kuat dan sakralnya dengan nushush syariah yang terdapat dalam al-qur’an atau al-hadis. Padahal hakekatnya tidaklah demikian, sebagaimana kaidah diatas bahwa pembaruan hukum Islam (fiqih) merupakan suatu keniscayaan, karena teks al-qur’an maupun hadis sudah berhenti, sementara masyarakat terus berubah dan berkembang dengan berbagai permasalahanya. Para ulama menjelaskan hal ini dengan ungkapan : li anna an-nushus mahdudah walakin al-hawadits wa an-nawazil ghair mahdudah aw li anna an-nushus tatanaha walakin al-hawadits wa an-nawazil la tanaha, (sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang timbul tidaklah terbatas, atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti).
Untuk keperluan pembaharuan hukum islam (fiqih), para ulama sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan metodologi (manhaj) yang kokoh. Memahami fiqih sebatas pada kumpulan hukum Islam yang sudah ada tidak cukup; dan oleh karenanya, pembaharuan hukum Islam merupakan suatu keniscayaan, terutama di era yang sangat cepat perubahannya ini sebagai akibat kemajuan di bidang industry, perdagangan, jasa, kontrak, perjanjian, teknologi, komunikasi, dan lain-lain. Diantara factor-faktor yang mendorong mendesaknya pembaharuan hukum Islam dewasa ini antara lain:
Pertama, perubahan sosial, yang meliputi perubahan budaya, ekonomi, dan politik pada masa kini mengharuskan para ahli hukum Islam (Fuqoha) untuk melakukan telaah ulang terhadap pendapat-pndapat ulam terdahulu yang tidak sesuai lagi dengan konteks sosial saat ini. Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap upaya mencari pendapat yang lebih kuat (rajih) diantara pendapat-pendapat berkembang dalam fiqih klasik di mana pada masa klasik diamana ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang pesat, khususnya ilmu-ilmu eksakta. Dengan bantuan ilmu teknologi, para ahli hukum islam (fuqoha) dapat menelaah kembali ketentuan hukum-hukum lama yang telah menjadi diskursus pada abad pertengahan untuk dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian jauh lebih kompleks. Pada saat ini penentuan pendapat yang lebih kuat (rajih) tidak hanya didasarkan pada argumen tekstual dengan pendekatan deduktif, atau bahkan sekedar pendekatan madzahab fiqih ansich, tetapi juga relevansinya dengan perubahan masyarakat.
Ketiga, tuntutan perkembangan zaman mengharuskan para ahli hukum Islam (fuqoha) kontemporer untuk melihat kompleksitas masalah kontemporer dan memilih pandangan-pandangan dan fatwa hukum yang lebih memudahkan (taisir) dan menghindari kesulitan (al-haraj) dalam hukum-hukum furu ‘ baik masalah ibadah maupun muamalat. Keempat, munculnya kasus-kasus baru dan yang terbarukan mengharuskan adanya ijtihad baru karena masalah-masalah tersebut belum pernah dijawab oleh para fuqoha klasik.